Jakarta, GATRAnews - Dewan Syariah Nasional MUI
merasa kecolongan memberi rekomendasi kepada GTIS sebagai perusahaan
syariah. Belakangan diketahui, praktek GTIS menyimpang dari prinsip
syariah. Michael Ong, bos GTIS, kabur diduga membawa uang nasabah. Nama
Ketua DPR-RI, Marzuki Alie, ikut terseret. ---
Belasan polisi bersiaga di kantor PT Golden Traders Indonesia Syariah
(GTIS), di kawasan Mega Kemayoran, Jakarta Pusat. Sejak awal pekan ini,
pejagaan kantor itu diperketat, menyusul kabar menghilangnya pendiri
GTIS, Taufiq Michael Ong alias Ong Han Cun. Ratusan nasabah panik
mendatangi kantor perusahaan tersebut.
Pria berpaspor Malaysia
itu kabur diduga membawa uang nasabah yang diperkirakan mencapai Rp 10
trilyun. Celakanya, laku lancung Ong tak hanya bikin pusing para
nasabah. Beberapa elite politik nasional ikut kena getah kelicikan Ong.
Mereka adalah Ketua DPR-RI, Marzuki Alie, dan politikus Partai Demokrat,
KH Aziddin. Majelis Ulama Indonesia (MUI) pun ikut kena getahnya.
Ketika
mendirikan GTIS, Ong sengaja menggandeng Marzuki dan Aziddin serta MUI
untuk memperlancar bisnisnya. Bahkan nama Ketua MUI, KH Ma'ruf Amin, dan
Marzuki Alie dipampang di laman situs perusahaan dan brosur-brosur yang
dibagikan kepada calon nasabah, lengkap dengan foto dan tanda tangan
mereka.
GTIS juga mencantumkan MUI dan Marzuki Alie sebagai
pemegang 10% saham. Sementara itu, saham mayorits tetap dipegang Ong
sebesar 45% dan seorang warga negara Malaysia lainnya bernama Dato
Zahari Sulaiman sebesar 25%. Sebelum masuk Indonesia, Ong mengklaim
telah memiliki jaringan bisnis investasi emas di sejumlah negara dengan
perusahaan bernama GTI Internasional.
Lewat GTI Internasional,
Ong mengklaim memiliki spesialisasi bisnis jual-beli emas 24 karat dan
koin emas. Dalam bisnisnya, Ong menawarkan harga diskon besar kepada
para nasabah. Setelah itu, perusahaan akan membeli lagi emas tersebut
dengan harga tertinggi. GTIS menawarkan keuntungan 5%-10% sebulan. Angka
ini jelas menggiurkan karena dalam setahun keuntungannya bisa mencapai
50%-100%. Ratusan nasabah tergiur rayuan GTIS.
Adapun kisah
terseretnya Marzuki, KH Aziddin, dan MUI dalam bisnis investasi emas
--yang katanya berbasis syariah-- ini cukup berliku. Bermula dari
pertemuan antara Ong Han Cun dan Aziddin, tiga tahun lalu, Agustus 2011.
Aziddin mengaku dikenalkan kepada Ong oleh sahabatnya, seorang ustad
bernama Bambang. "Bambang-lah yang membawa Ong ke saya untuk bisa
berteman lebih dalam," kata Aziddin.
Ong rupanya sengaja merapat
ke Aziddin demi memperoleh sertifikat syariah, yang secara resmi
dikeluarkan Dewan Syariah Nasional (DSN), untuk bisnisnya. Sebagaimana
diketahui, DSN adalah lembaga bentukan MUI yang memiliki fungsi
melaksanakan tugas-tugas MUI dalam menangani masalah yang berhubungan
dengan aktivitas lembaga keuangan syariah.
Setelah berkenalan
dengan Aziddin, Ong mengundang Aziddin ke kantornya di Jalan Pluit
Permai Raya Nomor 23, Jakarta Utara. Ong berkonsultasi soal bagaimana
mendirikan perusahaan perdagangan emas yang berbasis syariah di
Indonesia. Awalnya, Aziddin sempat meragukan reputasi Ong. Tapi, setelah
dicek, ia mengaku bahwa Ong memiliki reputasi baik.
Kemudian
Aziddin yang juga anggota DSN MUI ini menghubungi pimpinan MUI. Pihak
MUI pun menyambutnya dengan menggelar sidang DSN. Dalam sidang itu
muncul persoalan krusial, yakni bahwa seorang direktur perusahaan yang
berbasis syariah haruslah beragama Islam. Sedangkan Ong non-muslim.
Aziddin menyarankan agar Ong masuk Islam. Ong setuju. "Apalagi, dia
punya niat pribadi mau mencari istri muslimah pribumi Indonesia," ujar
Aziddin.
Ong juga mengumbar janji manis: keuntungan perusahaan
akan disumbangkan ke sekolah-sekolah Islam di Indonesia, anak yatim
piatu, kaum duafa, dan masjid-masjid. Supaya lebih meyakinkan, Ong
meminta diislamkan oleh Marzuki Alie. Dari sinilah perkenalan antara Ong
dan Marzuki bermula.
Aziddin, yang juga deklarator Partai
Demokrat, kemudian membawa Ong menemui Marzuki Alie. "Dia dibawa KH
Aziddin bersama Dato Anshari tahun lalu. Mereka datang kepada saya,
minta tolong bagaimana perdagangan emas di Indonesia dibuat seperti
Malaysia. Saya katakan, Indonesia menganut pasar bebas, tidak boleh
kartel," kata Marzuki.
Kemudian Ong bersama Aziddin datang lagi
menemui Marzuki, mengaku ingin masuk Islam. "Maka, saya bawa ke Masjid
DPR untuk disyahadatkan oleh imam masjid. Selebihnya saya tidak
mengerti. Jadi, saya dengan Michael Ong bukan pribadi, melainkan dibawa
oleh KH Aziddin," Marzuki Alie menegaskan.
Ong dibaiat masuk
Islam pada Oktober 2011. Marzuki Alie dan Aziddin bertindak selaku
saksi, sedangkan pembaiatan dipimpin KH Ma'ruf Amin. Setelah Ong masuk
Islam, bisnisnya pun lancar. Sertifikat rekomendasi syariah dari DSN MUI
diterbitkan pada 15 Agustus 2012. PT GTI Internasional juga berubah
menjadi PT GTI Syariah.
Ichwan Sam, Sekretaris Jenderal MUI
sekaligus penasihat GTIS, mengatakan bahwa saat itu pengajuan sertifikat
syariah PT GTIS memang sudah memenuhi syarat dan ketentuan syariah atau
akad-akad yang akan dijalankan. Apalagi ada kabar, Ong mau masuk Islam
dan mau membantu MUI agar memiliki dana untuk mengurus umat. "Segenap
pengurus MUI pun menyambut positif kelahiran GTIS. Saya kira, itu juga
hal yang wajar," kata Ichwan kepada Hayati Nupus dari GATRA.
Karena
itu, Aziddin, Marzuki, dan MUI mendapat bagian saham masing-masing 10%
dan didudukkan sebagai penasihat perusahaan. Belakangan, Marzuki Alie
membantah kabar ini. "Saya tidak duduk sebagai apa pun. Saya juga tidak
menerima bayaran apa pun. Mana ada lembaga penasihat atau pembina dalam
institusi bisnis?" ujarnya.
Ketika kedok Ong mulai terkuak, ia
menghilang dengan membawa duit nasabah. Aziddin mengaku baru mengetahui
iktikad buruk Ong setelah lari. Marzuki Alie pun kesal karena namanya
dijual Ong lewat brosur dan situs GTIS. "Saya sudah beberapa kali
memanggil untuk menegur yang bersangkutan (Michael Ong), tetapi tidak
pernah datang. Saya juga komplain ke KH Aziddin," katanya.
Kini
Aziddin kerepotan mengendalikan situasi. Sepekan belakangan ini, dia
sibuk meyakinkan para nasabah, agen, dan customer yang datang ke kantor
pusat GTIS bahwa uang mereka masih aman. Rencananya, operasional GTIS
akan diambil alih MUI. Dari hasil RUPS, Senin kemarin, kata Aziddin,
para pemegang saham, termasuk MUI, sepakat menonaktifkan Michael Ong.
RUPS
itu juga menghasilkan susunan personalia baru, termasuk jajaran direksi
baru. Mereka inilah yang nanti bertugas menyelesaikan masalah, misalnya
bonus untuk ribuan nasabah yang berbulan-bulan tidak cair. "Setelah
itu, jajaran direksi atau pengurus akan melaporkan Ong ke Mabes Polri,"
kata Aziddin.
Untuk sementara, beberapa nasabah mengaku agak
tenang setelah medengar penjelasan Aziddin. "Saya minta Ong segera
ditangkap dan diproses hukum di Indonesia. Kami nasabah ini sangat kesal
kepadanya," kata Yuli, nasabah asal Surabaya yang berinvestasi ratusan
juta rupiah. Ia berharap, GTIS dapati beroperasi normal lagi dan uang
bisa kembali.
Agar kasus GTIS yang berkedok sayariah ini tak
terulang, Wakil Ketua DSN, Adiwarman Karim, mewanti-wanti agar
masyarakat tak mudah terbujuk oleh iming-iming, walaupun berlabel
syariah. "Kalau ada yang menawarkan sesuatu yang tidak masuk akal,
tolak!" ujar Adiwarman Karim.
"Meskipun pakai nama syariah,
bismillah, rekomendasi DSN, Al-Fatihah tujuh kali, pajang foto tokoh,
masa bodoh. Tolak!" Adiwarman Karim menegaskan. Ia mengakui bahwa kasus
GTIS menjadi pelajaran bagi DSN agar tak gampang mengeluarkan
rekomendasi syariah.
Adiwarman mengakui, DSN kecolongan dalam
kasus GTIS ini. "Rekomendasi yang kami keluarkan itu, ya, kami lose
(kecolongan --Red.). Ya, kami belajar. Ke depan, kami tunggu izin keluar
dulu," tuturnya.
Sebenarnya, sebelum mengeluarkan rekomendasai,
DSN menanyakan izin GTIS, apakah perusahaan ini penjual emas atau
investasi. "Mereka bingung menentukan. Katanya, jual emas juga, tapi
investasi juga," kata Adiwarman. Tapi pihak GTIS berkilah, rekomendasi
DSN justru diperlukan untuk mengurus izin. "Akhirnya kami terbitkan
rekomendasi," kata Adiwarman.
Ternyata GTIS mengumbar janji
palsu. Ketika itu, Ong berjanji mengurus izin sebagai perusahaan penjual
emas. DSN setuju mengeluarkan rekomendasi karena izin penjual emas
lebih mudah diawasi dan persyaratannya tidak banyak. GTIS memang
benar-benar mengurus izin sebagai penjual emas dan melampirkan surat
izin dari BKPM itu ke DSN.
Tapi, prakteknya, GTIS menjalankan
bisnis investasi. "Ternyata yang mereka tawarkan adalah produk investasi
syariah," ujar Adiwarman. DSN pun berulang kali menegur GTIS, tapi tak
digubris. Mereka menjual dua produk. Pertama, harga emas Rp 500.000 per
gram mereka bayar Rp 600.000 per gram atau 20% di atas harga pasar.
Kelebihan
itu dibayar dalam bentuk diskon dalam tiga bulan, masing-masing 2,5%.
Kemudian pada akhir periode ada buyback guarantee, sehingga investasi
nasabah Rp 600.000 itu kembali. "Ini namanya bukan penjual emas.
Mestinya rekomendasinya adalah investasi. Dalam investasi syariah,
syaratnya lain lagi. Salah satunya adalah pemisahan rekening nasabah
dengan perusahaan," tutur Adiwarman.
Praktek ini, menurut dia,
menyimpang dari prinsip syariah. "Syariah itu tidak boleh menipu, tidak
merugikan orang, tidak riba, tidak gharar (mengandung ketidakpastian
--Red.)," kata Adiwarman.
Menurut dia, yang terjadi pada GTIS
adalah fraud, apa yang dilakukan tidak sama dengan apa yang
direkomendasikan. "Publik mungkin salah menilai. Kami bukan memberi
izin. Kami bukan pemerintah. Kami hanya memberi rekomendasi," ujar
Adiwarman sembari berjanji mencabut rekomendasi syariah yang diberikan
kepada GTIS.
Menurut Direktur Wakala Induk Nusantara, Zaim Saidi,
pemahaman bahwa emas adalah investasi merupakan hal yang salah.
Masyarakat selalu menganggap nilai emas naik-turun. Sehingga, apabila
harga emas turun, masyarakat berbondong-bondong membelinya. "Padahal,
harga emas tak pernah berubah. Yang berubah sebenarnya nilai uang,"
katanya.
Namun, karena pemahaman itu tidak diketahui masyarakat,
ada sebagian orang yang kemudian memperalat masyarakat. Emas dipakai
strategi marketing untuk mengelabui orang. Masyarakat diminta membeli
seharga 10%-15% lebih mahal daripada harga emas dalam rupiah, sehingga
dalam setahun terkumpul 120%. "Ini berarti orang mendapat uangnya
sendiri," ujarnya.
Dalam kasus GTIS, Zaim menduga, perusahaan itu
bermain di pasar saham. "Iya kalau untung, kalau jebol, gimana?
Kayaknya ini jebol," tutur Zaim. Ia menyayangkan MUI yang memberi
rekomendasi syariah kepada GTIS. "Harusnya MUI tahu, mosok jual-beli
tapi harga di-mark-up. MUI tahu ini menyimpang, tapi malah membiarkan,"
Zaim menegaskan. (M. Agung Riyadi, Deni Muliya Barus, Sandika Prihatnala, Fitri Kumalasari, Flora Libra Yanti, dan Rach Alida Bahaweres)
------------
Waspada Rayuan Investasi Bodong
Teliti
sebelum berinvestasi. Masyarakat seharusnya hati-hati terhadap model
bisnis seperti PT Golden Traders Indonesia Syariah (GTIS). Peringatan
itu disampaikan anggota Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Bidang Edukasi dan
Perlindungan Konsumen, Kusumaningtuti S. Soetiono, mengingat belakangan
ini muncul berbagai kasus penipuan berkedok investasi.
Di
Surabaya, misalnya, ratusan nasabah Raihan Jewellery harus gigit jari
lantaran investasi mereka yang mencapai Rp 13,2 trilyun terancam hilang.
Kasus-kasus itu, termasuk kasus PT GTIS, sedang ditangani Satgas
Waspada Investasi OJK. "Akan dibuktikan ada-tidaknya unsur penipuan oleh
penegak hukum," kata Kusumaningtuti sembari menyebutkan beberapa ciri
usaha investasi ilegal alias bodong yang harus diwaspadai masyarakat.
Ciri
pertama, investasi bodong biasanya menawarkan keuntungan yang tidak
masuk akal dalam waktu singkat. Kedua, menyediakan atau menawarkan jasa
yang mudah diakses secara langsung atau melalui media internet. Ketiga,
memanfaatkan figur publik yang disenangi masyarakat, seperti pemuka
agama, artis, dan politisi. Keempat, partisipan mendapat keuntungan
dengan cara merekrut partisipan baru. Terakhir, melaksanakan kegiatan
itu seolah-olah dalam bentuk multi-level marketing yang legal.
Kusumaningtuti
menegaskan, bisnis investasi yang sehat tidak menjanjikan imbal hasil
investasi di awal. Terlebih bila apa yang dijanjikan itu dalam jumlah
sangat besar. "Seharusnya imbal hasil tersebut didasarkan pada
perkembangan kondisi usaha atau pasar," ujarnya.
Investasi juga
harus dilakukan secara aman, legal, dan sesuai dengan kebutuhan (smart
investing). Kusumaningtuti menyarankan, masyarakat ekstra waspada
terhadap tawaran investasi yang menjanjikan imbal hasil tinggi, di atas
2% per tahun. Perlu diketahui, tingkat suku bunga penjaminan oleh
Lembaga Penjamin Simpanan hanya 5,5% per tahun. Sedangkan rata-rata
return reksa dana saham di Indonesia hanya sekitar 10,06% per tahun. (M. Agung Riyadi dan Birny Birdieni)
Laporan Utama majalah GATRA edisi 19/18, terbir Kamis, 6 Maret 2013